Tuesday, July 17, 2007

photo

Ceceran Darah Sang Mujahid

Ceceran Darah Sang Mujahid

Ketika terik mencekat
Padang jihad menghampar
luas membentang
Memanggil sang mujahid
Gema takbir mengangkasa
Kalimat laailaha illallah menggelegar
menikam dada zionis
Bendera alliwa engkau kibarkan
Arroya engkau genggam
Engkau yang mewarisi....
Keberanian sang singa gurun Hamzah
Panglima nan gagah Mushab bin umair,
Khalid bin walid,
Shalahuddin al-Ayyubi,
Tarikh bin Ziyad,
Engkau yang dititisi darah syuhada
Zaid bin Haritsah
Setiap jengkal tanah al-Quds dan Lebanon engkau jaga
“Itu milik kami juga saudaraku”
ucap kami
Tapi dengan senyum sang malaikat berkata
Beda?...ya..
Ketika engkau
bermandikan keringat
gumpalan debu nan berterbangan
Sangitnya bau mesiu
dan anyirnya darah
Sedang kami
hanya berkoar-koar anggap dikau saudara setubuh
padahal senyata kami mendukung sang agresor
katanya bersekutu untuk membantumu
tapi itupun hanya manis di bibir nan culas
bagaimana mungkin mengemis kasih ke musuh
merendah tergelepar memohon
itu bukan Persatuan Bangsa Bangsa pren...
tapi Persatuan Bangsat-Bangsat (walau ana nggak tega nulisnya)
itu juga bukan United Nation
tapi United Nashara
sesungging senyum mereka terucap
“hancurlah kau wahai kaum muslim”
Ketika Iblis bermuka manusia
Dengan wajah garang bak anjing menggeram
Melemparmu dengan cluster-cluster kembang api
bak hujan gerimis berlabel zionis keparat
Menggenangimu dengan roket berlabel ‘Holocaust’
Disaat kami terpekur ketakutan
Engkau yang mewarisi darah Shalahuddin Al-Ayyubi...
Bangkit....
tangan kanan memegang alliwa
Pun ketika tangan mungil itu terputus oleh mortir
Kau pakai tangan kiri
Ketika tangan kiripun melepuh
Kau gunakan gigimu untuk mengibarkannya
Hingga gema takbir,talbiyah dari kalbumu
Menggetarkan penghuni langit
Kala mortir terakhir menghujam tubuhmu
Kala nafaspun berhenti berdetak
Engkaupun masih tersenyum
Saudaraku..
Hanya balasan surga yang pantas untukmu
Kami akan selalu meneruskan perjuanganmu
Bidadari langit nan mewangi
Menyambut dengan ‘cinta’

Untuk saudaraku di Palestine dan Lebanon.
Bagi pecinta ikatan nasionalisme...
cepatlah sadar...
itu tak akan bisa membantu saudara-mu
Di bumi al-Quds dan Lebanon.
Marilah bersegera menyatukan langkah
Dalam naungan Daulah Islamiyah
-Diantara titikan airmata cinta
kami untuk mengiringi sang syuhada-

Tuesday, June 26, 2007

my baby

Agar Dia Selalu Cinta

“Sayang, I love you!” Hari ini entah sudah untuk yang keberapa kalinya suamiku membisikan kata itu dengan lembut tidak saja langsung bibirnya menempel di telingaku, tetapi juga melalui SMS ketika dia sudah di kantor. Biasanya akupun langsung membalasnya, I love you too, mas. Terima kasih telah menjadi suamiku.”Aku menyadari, aku memiliki beberapa kelebihan, tetapi sesungguhnya kekuranganku jauh melebih kelebihan yang aku punya. Aku bukan perempuan yang cantik jelita seperti ratu balqis, bukan pula wanita kaya raya seperti ummahatul mu’minin Khadijah. Walaupun tidak buta, tetapi pemahamanku terhadap Islampun masih perlu perbaikan. Tak banyak yang istimewa yang aku punya, makanya aku sangat bersyukur sekali Allah menghadirkan seseorang yang Allah halalkan tidak saja hatinya tetapi juga fisiknya padaku. Walaupun aku hanyalah perempuan biasa, Allah memberiku seorang laki-laki yang sholeh, baik, rendah hati dan amat sangat sayang padaku.Ibuku pernah berpesan, ada empat perkara yang harus kita perhatikan agar tercipta syurga dunia dalam rumah tangga. Sebagai seorang istri kita memang dituntut untuk memaksimalkan kemamapuan agar indah dipandang mata, sejuk dilihat, tenang ditinggal, membangkitkan gairah, dan menumbuhkan ketaatan suami kepada Allah. Disamping menjadi ibu yang baik dalam mendidik anak-anak kita.Pertama, mampu memberikan kepuasan di tempat tidur. Tempat tidur adalah ruang yang paling privacy antara kita dan suami. Disanalah biasanya suami mengurai keletihan setelah bekerja seharian. Tempat tidur juga merupakan tempat dimana biasanya suami istri menunaikan hajat seksualnya. Untuk itu istri di tuntut untuk menata tempat tidur dengan baik, bersih dan harum. Istri perlu memahami kebutuhan seksual suami, memenuhi ajakan bersetubuh dengan segera, memberikan kepuasan maksimal dalam bersetubuh, jika perlu tidak ada salahnya istri menawarkan diri.Kedua, menciptakan keindahan di dalam rumah, menatanya dengan penuh artistik, serta menjaga harta yang ada di dalamnya. Rumah yang besar belum tentu menciptakan ketenangan dan kedamaian. Perabotan yang banyak lagi mahal tidak juga bisa membuktikan penghuninya adalah pasangan yang berbahagia. Keindahan di sini adalah keindahan yang terpancar dari tangan lembut dan keikhlasan penatanya, yaitu istri yang sholehah, qonaah, tawadhu, dan rendah hati.Ketiga, mendidik dan menjaga anak-anak. Anak-anak adalah amanah, anak-anak adalah investasi, anak-anak merupakan hiburan bagi kita. Anak-anak yang bersih, sehat, cerdas adalah dambaan orang tuanya. Menjadikan anak-anak kita sholeh, cerdas, sehat dan bersih membuktikan keberhasilan kita mendidik mereka. Suami akan bekerja lebih giat untuk mencari nafkah jika melihat anak-anak dalam kondisi seperti ini.Keempat, saling memaafkan. Suami istri berasal dari dua keluarga yang berbeda, kebiasaan yang berbeda, adat-istiadat yang berbeda, sifat yang berbeda. Keduanya bukanlah makhluk yang sempurna yang tak pernah salah. Keduanya sama-sama memiliki kekurangan. Meminta maaf terlebih dahulu jika memiliki salah dan segera memaafkan suami serta tidak mengungkit-ungkit lagi kesalahan yang pernah ada akan menautkan lagi kemesraan kita berdua.Seorang suami tidak akan memikirkan perempuan lain jika istri mampu menampilkan semua ini dihadapanya. Memberikan kebahagiaan lahir batin, menciptakan suasana segar, serta istri yang menentramkan jiwa. Tak akan pula ada percekcokan, sakit hati atau penyesalan telah mengikat janji berdua dihadapan Allah aza wajalla. Yang ada adalah ungapan sayang, kata-kata mesra, cinta yang selalu berbunga, mudah-mudahan berkah Allah selalu melingkupinya.yesi elsandrael-sandra@lycos.com(For my husband, I will always love you)
sumber : eramuslim.com
About Love, Episode: Cinta Abadi

“Ma, itu apa, yang kelap-kelip di atas …” telunjukku mengarah ke langit. “Itu namanya bintang nak, salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan,” terang Mama dengan sempurna sekaligus bijak. Kutahu, usiaku dua tahun lebih sedikit waktu itu. Usia yang selalu ingin tahu segala hal dan mengejar seribu jawaban dari siapapun terhadap hal yang baru kulihat. Dan Mama, dialah yang paling sabar menerangkan semua tanya itu, meski tak pernah kupuas, tapi aku cukup yakin saat itu, bahwa Mama segala tahu. Sejak malam itu, aku selalu berdiri di belakang rumah menengadah ke langit memandangi jutaan bintang yang berkelap-kelip, dan setiap saat itu pula Mama setia menemaniku. Aku ingat, mama cukup kerepotan mencari jawaban ketika aku bertanya, apakah bintang-bintang itu juga punya nama. Dengan cerdik, Mama menjelaskan bahwa bintang-bintang itu sama dengan kita, manusia. Kalau manusia punya nama, berarti bintang pun memiliki nama. “Yang disebelah sana, namanya siapa ma…” Keningnya berkerut, otaknya berputar mencari jawaban. Hingga akhirnya, “ooh… yang itu mama tahu, ia adalah bintang mama, karena namanya sama persis dengan nama anak mama ini…” dekapannya begitu hangat, tak ada yang bisa melakukan semua itu kecuali mama. Waktu itu yang kutahu, mama sekedar menjalankan kewajibannya sebagai orang tua untuk menemani dan membahagiakanku. Keesokkan harinya, setiap malam tiba. Mama sudah tahu, sebelum waktu tidurku tiba, aku selalu mengajaknya memandangi langit. Karena kini aku semakin senang, sejak mama mengatakan bahwa bintang yang pernah kutunjuk itu adalah aku. Tapi, hari ini mama membuatku kecewa, karena mama tak bisa menemaniku. Mama sakit, begitu kata Papa. Aku menangis, sebab malam itu aku berniat tidak hanya minta mama menemaniku seperti malam-malam sebelumnya. Tapi aku ingin mama mengambilkanku bintang-bintang itu dan membawanya ke rumah. Aku ingin mereka menjadi temanku bermain hingga aku tak perlu bersedih setiap ketika larut mama mengajakku masuk. Tapi Mama tetap tak bisa membantuku. Jangankan untuk mengambilkanku bintang-bintang, sekedar duduk bersama di belakang rumah, merasai sentuhan angin yang lembut, dan menyapa kedamaian malam, serta tersenyum membalas lambaian sang bulan pun, mama tak kuat. Hingga malam berakhir, aku masih kecewa. Malam itu bahkan aku tak mau makan, hingga mama yang sedang sakitpun harus memaksakan diri tetap menyenandungkan nyanyian cinta pengantar tidur. Untuk yang ini pun yang aku tahu, adalah juga kewajiban orangtua, menyanyikan lagu pengantar tidur. Esok harinya aku demam. Karena semalaman tidak mau makan setelah beberapa jam di belakang rumah ‘bermain-main’ dengan bintang-bintang. Meski sedikit cemas, mama tak pernah panik. Sentuhan hangat mama, membaluri ramuan khusus ke seluruh tubuh kecil ini. Dua hari sudah, tak kunjung sembuh demamku. Padahal mama sudah membawaku ke dokter.
1Mama semakin panik. Panasku meninggi dan sering mengigau. Tetapi justru disaat mengigau itulah mama tahu obat terbaik untuk menyembuhkanku. (sampai disini, aku masih beranggapan, mencarikan obat, menyembuhkan anak, adalah sekedar kewajiban orangtua).Aku tidak tahu apa yang mama perbuat. Setelah terlelap beberapa jam, aku terbangun, dan aku terkejut, hampir tak percaya apa yang kutatap di langit-langit kamarku. Bintang-bintang … mama membuatkanku bintang-bintang dari kertas berwarna metalik, banyak sekali, puluhan, entah, mungkin ratusan. Sebagiannya digantung sebagian lagi dibiarkan berserakan di tempat tidur dan lantai kamar. Kuciumi mama karena telah membawakan bintang-bintang dari langit itu ke rumah. Dan mama benar, kulihat di masing-masing bintang itu ada namanya, salah satunya, ada bintang yang paling bagus dan paling besar, diberinya namaku. ***Anak mama yang dulu kerap memandangi bintang itu, kini sudah dewasa. Sudah hidup mandiri. Tapi aku tetap anak mama. Kemarin, kutelepon mama mengabariku bahwa aku sedang tidak sehat dan tidak masuk kantor. Beberapa jam kemudian, diantar papa dan salah seorang adikku, mama datang. Aku memang tetap bintangnya mama, dibiarkannya kepalaku bersandar dipeluknya, kurasakan kembali kehangatan itu. hingga aku tertidur. Sore, mama hendak pulang. Sebenarnya aku ingin sekali menahannya untuk tinggal beberapa hari, tapi adikku berbisik, “Waktu abang telepon, mama sebenarnya sedang sakit …” Ada setitik air disudut mata ini. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Kini, sekali lagi kusadari. Semua yang dilakukan mama untukku, bukanlah kewajiban. Itulah yang disebut cinta, cinta abadi. Cinta yang takkan pernah bisa aku membalasnya. Dan mama adalah bintang sesungguhnya bagiku